Hukum Membaca Al-Fatihah bagi Makmum
Hukum Membaca Al-Fatihah bagi Makmum ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 30 Jumadil Awal 1446 H / 2 Desember 2024 M.
Kajian Tentang Hukum Membaca Al-Fatihah bagi Makmum
Pada kesempatan sebelumnya, telah dibahas hukum mengeraskan bacaan Basmalah ketika imam mengeraskan bacaannya. Masalah ini diperselisihkan para ulama. Perbedaannya hanya pada keutamaan (afdhaliyah), apakah lebih afdhal dikeraskan atau dilirihkan.
Sebagian ulama berpendapat lebih afdhal mengeraskan, sementara sebagian lainnya mengatakan lebih afdhal melirihkan. Ada pula pendapat yang mengompromikan kedua pandangan tersebut, yakni kadang-kadang dikeraskan dan kadang-kadang dilirihkan. Pendapat ini menganggap perbedaan tersebut sebagai khilaf tanawwu’, yakni variasi dalam syariat yang tidak saling bertentangan. Dengan demikian, kedua cara tersebut bisa dilakukan sesuai keadaan.
Mayoritas riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melirihkan bacaan Basmalah, sebagaimana disebutkan oleh sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu. Namun, ada riwayat lain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu yang menunjukkan bahwa beliau kadang-kadang mengeraskannya.
Hukum Membaca Al-Fatihah bagi Makmum
Masalah ini termasuk ijtihadiah yang telah diperdebatkan para ulama sejak zaman para imam mazhab. Ada tiga pendapat masyhur terkait hal ini:
- Wajib membaca Al-Fatihah dalam semua keadaan.
Pendapat ini menyatakan bahwa makmum harus membaca Al-Fatihah baik dalam shalat jahriah (imam mengeraskan bacaan) maupun sirriah (imam melirihkan bacaan). - Tidak perlu membaca Al-Fatihah dalam semua keadaan.
Pendapat ini kebalikan dari yang pertama. Menurut pandangan ini, makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah baik dalam shalat jahriah maupun sirriah, karena telah diwakili oleh bacaan imam. - Membaca Al-Fatihah hanya ketika imam melirihkan bacaan.
Jika imam membaca dengan suara pelan (shalat sirriah), maka makmum wajib membacanya. Namun, jika imam mengeraskan bacaan (shalat jahriah), makmum tidak membaca Al-Fatihah.
Dalil Pendapat Pertama
Pendapat ini dipilih oleh Imam Asy-Syafi’i dalam sebagian mazhab jadid (baru)nya, juga oleh Ibnu Hazm dari mazhab Zahiri, Asy-Syaukani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan ulama lainnya. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menafikan shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah dengan kalimat لَا صَلَاةَ (tidak ada shalat). Penafian ini tidak mungkin dimaknai sebagai penafian keberadaan (wujud) shalat, karena faktanya ada banyak orang yang shalat tanpa membaca Al-Fatihah. Jika dimaknai demikian, maka sabda Nabi akan bertentangan dengan kenyataan.
Oleh karena itu, penafian tersebut harus dibawa pada makna penafian keabsahan (sahnya) shalat. Dengan demikian, makna hadits ini adalah: Tidak sah shalatnya seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah.
Inilah dalil yang menjadi dasar pendapat pertama, yang mewajibkan makmum membaca Al-Fatihah dalam semua keadaan.
Dalil Pedapat Kedua
Pendapat yang kedua ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya. Mereka berpendapat bahwa makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah, baik dalam shalat jahriah (shalat yang imamnya mengeraskan bacaan, seperti shalat Maghrib, Isya, dan Subuh) maupun dalam shalat sir riah (shalat yang imamnya memelankan bacaan, seperti shalat Zuhur dan Asar). Dalam semua keadaan, jika status seseorang adalah makmum, maka cukup baginya untuk diam dan mendengarkan bacaan imam.
Dalil yang digunakan adalah sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
من كانَ له إمامٌ فقراءةُ الإمامِ لهُ قراءةٌ
“Barangsiapa yang memiliki imam (dalam shalat), maka bacaan imam adalah bacaan baginya.”
Hadits ini menjadi landasan bagi pendapat tersebut. Meskipun banyak ulama yang menilai hadits ini sebagai hadits yang lemah, ada sebagian ulama yang menilainya sebagai hadits hasan li ghairihi. Dengan dasar hadits ini, mereka menyimpulkan bahwa bacaan imam sudah cukup, sehingga makmum tidak perlu membaca Al-Fatihah.
Dalil Pendapat Ketiga
Pendapat ketiga adalah pendapat mayoritas ulama yang menggabungkan dua pendapat sebelumnya. Mereka membedakan antara shalat jahriah (shalat yang imamnya mengeraskan bacaan) dan shalat sirriah (shalat yang imamnya memelankan bacaan). Dalam shalat jahriah, makmum tidak membaca Al-Fatihah, sedangkan dalam shalat sirriah, makmum diwajibkan membaca Al-Fatihah.
Dalil yang digunakan adalah hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini dipahami secara umum, tetapi dikecualikan pada keadaan di mana imam mengeraskan bacaan. Pengecualian ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dengan saksama dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf [7]: 204)
Selain itu, mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah selesai melaksanakan shalat di mana beliau mengeraskan bacaannya, lalu bertanya: “Apakah ada di antara kalian yang membaca bersamaku tadi?”
Salah seorang sahabat menjawab, “Iya, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda:
إِنِّي أَقُولُ: مَا لِي أُنَازِعُ ٱلْقُرْآنَ؟
“Sungguh aku mengatakan: kenapa aku diganggu dalam membaca Al-Qur’an?” (HR. Abu Dawud)
Setelah mendengar sabda tersebut, para sahabat berhenti membaca di belakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam shalat yang bacaannya dikeraskan.
Analisis Pendapat
Pendapat pertama, yang mewajibkan makmum membaca Al-Fatihah dalam semua keadaan, memiliki sisi kekuatan tersendiri. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Bukhari. Namun, ada hadits dan ayat Al-Qur’an yang mengecualikan kewajiban tersebut ketika imam mengeraskan bacaan.
Pendapat ketiga, yang membedakan antara shalat jahriah dan sirriah, juga kuat dan dipilih oleh mayoritas ulama seperti Imam Syafi’i (dalam qaul qadim dan sebagian qaul jadid-nya), Az-Zuhri, Imam Malik, Abdullah bin Mubarak, Muhammad bin Hasan (sahabat Imam Abu Hanifah), dan Imam Ahmad bin Hanbal. Pendapat ini juga didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.
Para ulama kontemporer seperti Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin memilih pendapat pertama, sementara Syaikh Albani rahimahullah lebih condong kepada pendapat ketiga.
Saya pribadi cenderung kepada pendapat ketiga, karena dalil dari ayat Al-Qur’an sangat jelas:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf [7]: 204)
Hal ini juga senada dengan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya imam dijadikan imam untuk diikuti. Maka, apabila ia bertakbir, bertakbirlah kalian. Apabila ia membaca Al-Qur’an, maka diamlah kalian.” (HR. Muslim)
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download mp3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54764-hukum-membaca-al-fatihah-bagi-makmum/